ASAL MULA TAMANSISWA
Nama Pendiri : Ki Hajar Dewantara
Nama Asli : Raden Mas Soewardi Soeryaningrat
Lahir : Yogyakarta, 2 Mei 1889
Wafat : Yogyakarta, 28 April 1959
Pendidikan :
* Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda)
* STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera) tidak tamat
* Europeesche Akte, Belanda
* Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada
tahun 1957
Karir :
* Wartawan Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan
Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara
* Pendiri Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa
(Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922
* Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang
pertama.
Organisasi :
* Boedi Oetomo 1908
* Pendiri Indische Partij (partai politik pertama yang
beraliran nasionalisme Indonesia) 25 Desember 1912
Penghargaan :
* Bapak Pendidikan Nasional, hari kelahirannya 2 Mei
dijadikan hari Pendidikan Nasional
* Pahlawan Pergerakan Nasional (surat keputusan Presiden RI
No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959)
Pendiri Taman
Siswa ini adalah Bapak Pendidikan Nasional. Lahir di Yogyakarta pada tanggal 2
Mei 1889. Hari lahirnya, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Ajarannya yang terkenal ialah tut wuri handayani (di belakang memberi
dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk
berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan). Ia meninggal
dunia di Yogyakarta tanggal 28 April 1959 dan dimakamkan di sana.
Terlahir dengan
nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan keluarga
kraton Yogyakarta. Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat genap berusia 40
tahun menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara.
Semenjak saat itu, ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan
namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik
secara fisik maupun hatinya.
Perjalanan
hidupnya benar-benar diwarnai perjuangan dan pengabdian demi kepentingan
bangsanya. Ia menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) Kemudian
sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat
karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar
antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda,
Tjahaja Timoer dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal.
Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu
membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.
Selain ulet
sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan
politik. Pada tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk
mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu
mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Kemudian,
bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto
Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang
beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan
mencapai Indonesia merdeka.
Mereka berusaha
mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum pada pemerintah
kolonial Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral
Idenburg berusaha menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran
itu pada tanggal 11 Maret 1913. Alasan penolakannya adalah karena organisasi
ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan menggerakan
kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.
Kemudian setelah
ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische Partij ia pun ikut membentuk
Komite Bumipoetra pada November 1913. Komite itu sekaligus sebagai komite
tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda. Komite
Boemipoetra itu melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud
merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan
menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut.
Sehubungan
dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan berjudul Als Ik
Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar
Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Tulisan
Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat dalam surat kabar de Expres milik
dr. Douwes Dekker itu antara lain berbunyi:
“Sekiranya aku
seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di
negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan
pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si
inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu.
Pikiran untuk
menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita
garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku
seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku
terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi
suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun”.
Akibat
karangannya itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg
menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman internering (hukum
buang) yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh
bagi seseorang untuk bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang ke Pulau Bangka.
Douwes Dekker
dan Cipto Mangoenkoesoemo merasakan rekan seperjuangan diperlakukan tidak adil.
Mereka pun menerbitkan tulisan yang bernada membela Soewardi. Tetapi pihak
Belanda menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk memusuhi dan memberontak
pada pemerinah kolonial. Akibatnya keduanya juga terkena hukuman internering.
Douwes Dekker dibuang di Kupang dan Cipto Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau
Banda.
Namun mereka
menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa memperlajari
banyak hal dari pada didaerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri
Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman.
Kesempatan itu
dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga Raden
Mas Soewardi Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte.
Kemudian ia
kembali ke tanah air di tahun 1918. Di tanah air ia mencurahkan perhatian di
bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan.
Setelah pulang
dari pengasingan, bersama rekan-rekan seperjuangannya, ia pun mendirikan sebuah
perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa
(Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat
menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka
mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.
Tidak sedikit
rintangan yang dihadapi dalam membina Taman Siswa. Pemerintah kolonial Belanda
berupaya merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1
Oktober 1932. Tetapi dengan kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi
itu kemudian dicabut.
Di tengah
keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Tamansiswa, ia
juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke
pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan
buah. Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan
nasional bagi bangsa Indonesia.
Sementara itu,
pada zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap
dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera)
dalam tahun 1943, Ki Hajar duduk sebagai salah seorang pimpinan di samping Ir.
Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur.
Setelah zaman
kemedekaan, Ki hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan,
Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja
diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (bapak Pendidikan
Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional,
tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat
keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959. Penghargaan
lain yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah
Mada pada tahun 1957.
Dua tahun
setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia pada
tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana.
Kemudian oleh
pihak penerus perguruan Taman Siswa, didirikan Museum Dewantara Kirti Griya,
Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar
Dewantara. Dalam museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar
sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa. Koleksi
museum yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta
data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar sebagai jurnalis, pendidik,
budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan
dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional.
Bangsa ini perlu
mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan bangsa
secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat,
kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus
didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi.
Konsep
Pendidikan Tamansiswa :
Tamansiswa
adalah badan perjuangan kebudayaan dan pembangunan masyarakat yang menggunakan
pendidikan dalam arti luas untuk mencapai cita-citanya. Bagi Tamansiswa,
pendidikan bukanlah tujuan tetapi media untuk mencapai tujuan perjuangan, yaitu
mewujudkan manusia Indonesia yang merdeka lahir dan batinnya. Merdeka
lahiriah artinya tidak dijajah secara fisik, ekonomi, politik, dsb; sedangkan
merdeka secara batiniah adalah mampu mengendalikan keadaan.
Tamansiswa anti
intelektualisme; artinya siapa pun tidak boleh hanya mengagungkan kecerdasan
dengan mengabaikan faktor-faktor lainnya. Tamansiswa mengajarkan azas
keseimbangan (balancing), yaitu antara intelektualitas di satu sisi dan
personalitas di sisi yang lain. Maksudnya agar setiap anak didik itu berkembang
kecerdasan dan kepribadiannya secara seimbang.
Tujuan
pendidikan Tamansiswa adalah membangun anak didik menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, merdeka lahir batin, luhur akal
budinya, cerdas dan berketerampilan, serta sehat jasmani dan rohaninya untuk
menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan bertanggung jawab atas
kesejahteraan bangsa, tanah air, serta manusia pada umumnya. Meskipun dengan
susunan kalimat yang berbeda namun tujuan pendidikan Tamansiswa ini sejalan
dengan tujuan pendidikan nasional.
Kalau di Barat
ada “Teori Domein” yang diciptakan oleh Benjamin S. Bloom yang terdiri dari kognitif,
afektif dan psikomotorik maka di Tamansiswa ada “Konsep Tringa” yang terdiri
dari ngerti (mengeta-hui), ngrasa (memahami) dan nglakoni (melakukan). Maknanya
ialah, tujuan belajar itu pada dasarnya ialah meningkatkan pengetahuan anak
didik tentang apa yang dipelajarinya, mengasah rasa untuk meningkat-kan
pemahaman tentang apa yang diketahuinya, serta meningkatkan kemampuan untuk
melaksanakan apa yang dipelajarinya.
Pendidikan
Tamansiswa dilaksanakan berdasar Sistem Among, yaitu suatu sistem pendidikan
yang berjiwa kekeluargaan dan bersendikan kodrat alam dan kemerdekaan. Dalam
sistem ini setiap pendidik harus meluangkan waktu sebanyak 24 jam setiap
harinya untuk memberikan pelayanan kepada anak didik sebagaimana orang tua yang
memberikan pelayanan kepada anaknya.
Sistem Among
tersebut berdasarkan cara berlakunya disebut Sistem Tutwuri Handayani. Dalam
sistem ini orientasi pendidikan adalah pada anak didik, yang dalam terminologi
baru disebut student centered. Di dalam sistem ini pelaksanaan pendidikan lebih
didasarkan pada minat dan potensi apa yang perlu dikembangkan pada anak didik,
bukan pada minat dan kemampuan apa yang dimiliki oleh pendidik. Apabila minat
anak didik ternyata akan ke luar “rel” atau pengembangan potensi anak didik di
jalan yang salah maka pendidik berhak untuk meluruskannya.
Untuk mencapai
tujuan pendidikannya, Tamansiswa menyelanggarakan kerja sama yang selaras
antartiga pusat pendidikan yaitu lingkungan keluarga, lingkungan perguruan, dan
lingkungan masyarakat. Pusat pendidikan yang satu dengan yang lain hendaknya
saling berkoordinasi dan saling mengisi kekurangan yang ada. Penerapan sistem
pendidikan seperti ini yang dinamakan Sistem Trisentra Pendidikan atau Sistem
Tripusat Pendidikan.
Pendidikan
Tamansiswa berciri khas Pancadarma, yaitu Kodrat Alam (memperhatikan
sunatullah), Kebudayaan (menerapkan teori Trikon), Kemerdekaan (memperhatikan
potensi dan minat maing-masing indi-vidu dan kelompok), Kebangsaan
(berorientasi pada keutuhan bangsa dengan berbagai ragam suku), dan Kemanusiaan
(menjunjung harkat dan martabat setiap orang).
0 komentar:
Posting Komentar
maaf bila ada kekurangan soalnya blogger ini msh dalam perjalanan proses perbaikan,,
dan minta kritik dan sarannya